Jumat, 20 Juni 2014

The Big Five

Big Five Personality

            Big five personality merupakan pendektan dalam psikologi kepribadian yang mengelompokan trait-trait kepribadian dengan analisis faktor. Faktor-faktor didalam big five  menurut Costa & McCrae meliputi: (O) Openness, (C) Conscientiousness, (E) Extraversion (A) Agreeableness, (N) Neurotisme.

·        Openness (O)
            Menilai usahanya secara proaktif dan penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa. Dimensi ini mengamanatkan tentang minat seseorang. Orang terpesona oleh hal baru dan inovasi, ia akan cenderung menjadi imajinatif, benar-benar sensitif dan intelek. Sementara orang yang disisi lain kategori keterbukaannya ia nampak lebih konvensional dan menemukan kesenangan dalam keakraban.

·         Conscientiousness (C)
            Menilai kemampuan individu didalam mengorganisir, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi. Dimensi ini merujuk pada  jumlah tujuan yang menjadi pusat perhatian seseorang. Orang yang  mempunyai skor tinggi cenderung mendengarkan kata hati dan mengejar sedikit tujuan dalam satu cara yang terarah dan cenderung bertanggung jawab, kuat bertahan, tergantung, dan berorientasi pada prestasi. Sementara yang skornya rendah ia akan cenderung menjadi lebih kacau pikirannya, mengejar banyak tujuan, dan lebih hedonistik.

·         Extraversion (E)
            Menilai kuantitas dan intensitas interaksi  interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia. Dimensi ini menunjukkan tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Kaum ekstravert (ekstraversinya tinggi) cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah besar hubungan. Sementara kaum introvert cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian.

·         Agreeableness (A)
            Menilai kualitas orientasi individu dengan kontinum mulai dari lemah lembut sampai antagonis  didalam berpikir, perasaan dan perilaku. Dimensi ini merujuk kepada kecenderungan seseorang untuk tunduk ke pada  orang   lain. Orang yang sangat mampu bersepakat jauh lebih menghargai harmoni daripada ucapan atau cara mereka. Mereka tergolong orang yang kooperatif dan percaya pada orang lain. Orang yang menilai rendah kemampuan untuk bersepakat memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang kebutuhan orang lain.

·         Neuroticism (N)
            Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi. Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mudah mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang maladaptive. Dimensi ini menampung kemampuan seseorang  untuk menahan stres. Orang dengan  kemantapan emosional positif cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Sementara mereka yang skornya negatif tinggi cenderung tertekan, gelisah dan tidak aman.
            Dari lima faktor didalam Big Five, masing-masing dimensi terdiri dari beberapa facet. Facet merupakan trait yang lebih spesifik, merupakan komponen dari 5 faktor besar tersebut.
Komponen dari big five faktor tersebut menurut NEO PI-R yang dikembangkan Costa & McCrae adalah :

a. Neuroticism
·         Kecemasan (Anxiety)
·         Kemarahan (Anger)
·         Depresi (Depression)
·         Kesadaran diri (Self-consciousness)
·         Kurangnya kontrol diri (Immoderation)
·         Kerapuhan (Vulnerability)

b. Extraversion
·         Minat berteman (Friendliness)
·         Minat berkelompok (Gregariousness)
·         Kemampuan asertif (Assertiveness)
·         Tingkat aktivitas (Activity-level)
·         Mencari kesenangan (Excitement-seeking)
·         Kebahagiaan (Cheerfulness)

c. Openness
·         Kemampuan imajinasi (Imagination)
·         Minat terhadap seni (Artistic interest)
·         Emosionalitas (Emotionality)
·         Minat berpetualangan (Adventurousness)
·         Intelektualitas (Intellect)
·         Kebebasan (Liberalism)

d. Agreeableness
·         Kepercayaan (Trust)
·         Moralitas (Morality)
·         Berperilaku menolong (Altruism)
·         Kemampuan bekerjasama (Cooperation)
·         Kerendahan hati (Modesty)
·         Simpatik (Sympathy)

e. Conscientiousness
·         Kecukupan diri (Self efficacy)
·         Keteraturan (Orderliness)

·         Rasa tanggungjawab (Dutifulness)

Hans J. Eysenck

                  Biografi Hans J. Eysenck
Hans J. Eysenck lahir di Berlin, Jerman pada tanggal 4 Maret 1916. Ibunya Silesian kelahiran bintang film Helga Molander, dan ayahnya, Eduard Anton Eysenck adalah seorang penghibur klub malam yang pernah terpilih sebagai pria paling tampan di pantai Baltik.

Ayah dan ibunya bercerai saat dia sedang berusia  2 tahun. Eysenck kemudian dirawat oleh neneknya sampai berusia 18 tahun. Kala itu Nazi mulai berkuasa, dan sebagai simpatisan Yahudi, Hans Eysenck pun terancam. Kemudian dia pindah ke Inggris untuk melanjutkan pendidikannya.

Dia menerima gelar doktor di bidang psikologi dari University of London pada tahun 1940. Pada saat perang dunia pertama, dia bekerja sebagai seorang psikolog di bagian gawat darurat. Disinilah penelitiannya pun dilakukan tentang “kevalidan diagnosis-diagnosis psikiatri. Hasil peneltiannya kemudian membuatnya menentang psikologi analisis sepanjang kariernya. Setelah perang usai, dia mengajar di University of London dan menjadi ketua bagian psikologi di The Institute of Psychiatri di Betlehem Royal Hospital.

Hans Eysenck adalah seorang psikolog terkenal yang memakai pendekatan behaviorisme dalam melihat kepribadian manusia. Teori Eysenck sebagian besar didasarkan oleh fisiologi dan genetika. Meskipun dia seorang behavioris, namun Eysenck melihat perbedaan kepribadian lebih disebabkan oleh faktor keturunan atau genetika.

Salah satu metode yang dipakai Eysenck adalah teknik statistik yang disebut analisis faktor. Cara analisis ini dilakukan adalah dengan responden diberikan daftar berisi sifat-sifat manusia yang mereka pilih sesuai kepribadian mereka.

Pengertian Kepribadian
Kepribadian adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi, tempramen, ciri-ciri kas dan perilaku seseorang. Sikap perasaan ekspresi dan tempramen itu akan terwujud dalam tindakan seseorang jika di hadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang mempunyai kecenderungan perilaku yang baku, atau berlaku terus menerus secara konsisten dalam menghadapai situasi yang di hadapi, sehingga menjadi ciri khas pribadinya.

Pengertian kepribadian menurut Hans Eysenk
Eysenk berpendapat dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Namun dia juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan. Menurutnya kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dari lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkah laku; sektor kognitif, (intellegence), sektor kunatif (character), sektor afektif (temperament) dan sektor somatik (constitution).


Hans Eysenk juga mengatakan dimensi kepribadian dasar adalah introversi, ekstraversi, dan psikotisme. Kusioner telah dikembangkan untuk menilai sifat ini, riset ini difokuskan introversi-ekstraversi dimana ditemukan perbedaan pada level aktivasi dan aktivitas. Eysenk menunjukan bahwa perbedaan pada sifat individu memiliki basis biologis dan genetik (turunan), walaupun demikian dia juga mengisyaratkan bahwa perubahan penting dalam fungsi kepribadian dapat terjadi melalui terapi perilaku.

Psikopatologi
Teori kepribadian Eysenck berkaitan erat dengan teori psikologi dan perubahan perilaku. Jenis gejala atau gangguan psikologis yang cenderung berkembang adalah terkait dengan karakteristik kepribadian dasar dan prinsip-prinsip dari fungsi sistem saraf. Menurut Eysenck, orang extravert biasanya memiliki level rangsangan cortical (CAL=CorticalArousal Level) yang tinggi , sedangkan introvert biasanya memiliki  level rangsangan cortical (CAL) yang lebih rendah. Orang yang mengalami gangguan fobia dan obsesif-kompulsif biasanya adalah orang introvert, sementara orang yang mengalami gangguan keseimbagan mental (misalnya, paralisis histerikal) atau gangguan ingatan (misalnya amnesia) biasanya adalah orang ekstravert.

Raymond B. Cattell

SEJARAH  RAYMOND B. CATTELL

Pada tahun 1905, Cattell lahir di kota Staffordshire, Inggris dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ketika Cattell berusia 9 tahun, di Inggris sedang terjadi Perang Dunia I. Cattell melihat banyak kereta muatan yang mengangkut tentara cedera yang kembali dari medan perang di Perancis. Hal tersebut membuat Cattell sadar bahwa “betapa singkatnya hidup dan kebutuhan untuk menyempurnakannya selagi bisa. Pada usia 16 tahun, Cattell melanjutkan pendidikannya di University of London dan mengambil jurusan fisika dan kimia. Namun dia menyadari bahwa ilmu fisika dan kimia yang ia miliki tidak dapat membantunya untuk memecahkan masalah sosial. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di bidang Human Mind dan ia menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan adalah mempelajari pikiran manusia (Human Mind).

Ini adalah keputusan yang telah berani dibuatnya pada tahun 1924.  Cattell melanjutkan pendidikan pasca sarjananya di University of London dan mengambil jurusan psikologi.

Pada tahun 1929,  Cattell menyelesaikan program Ph.D dan bekerja sama dengan seorang psikolog dan ahli statistik ternama, yaitu Charles E. Spearman. Ketika itu, Spearman telah menggunakan analisis faktor untuk mengukur kemampuan mental, dan Cattell memutuskan untuk menggunakan metode tersebut untuk struktur kepribadian.

Delapan tahun setelah ia meraih gelar doktornya, Cattell akhirnya menerima kesempatan untuk melakukan pekerjaan penuh waktu dalam psikologi . Psikolog Amerika terkemuka Edward L. Thorndike mengundang Cattell untuk menghabiskan waktu setahun di laboratorium Thorndike di Columbia University di New York. Tahun-tahun berikutnya Cattell menjadi profesor psikologi di Clark University di Worcester, Massachusetts, dan pada tahun 1941 ia pindah ke Harvard University. Dia menikah dengan seorang matematikawan yang berbagi kepentingan penelitian, dan pada usia ke 40, Cattell pindah ke University of Illinois sebagai profesor riset.

Terbebani dengan mengajar atau tugas akademik lainnya, Cattell sepenuhnya mengabdikan dirinya sendiri pada penelitiannya. Ia menerbitkan lebih dari 400 artikel dan 35 buku , prestasi monumental yang mencerminkan dedikasi dan kegigihannya.

DEFENISI KEPRIBADIAN CATTELL
          
Cattell mengemukakan pendapatnya mengenai defenisi kepribadian, yaitu :
“ Personality is that which permits a prediction of what a person will do in a given situation “

Maksudnya adalah, kepribadian seseorang mampu memprediksi perilaku yang akan dilakukannya                 dalam situasi tertentu. Kepribadian yang dimaksud Cattell berfokus dengan seluruh bentuk perilaku,               baik luar maupun dalam.

1    Research
Cattel membagi tiga cara untuk mempelajari kepribadian, yaitu: pendekatan variate, clinical, dan multivariate. Pendekatan bivariat adalah metode standar dimana psikolog  memanipulasi variabel independen untuk menentukan adanya efek pada perilaku subjek. Pendekatan ini  juga bisa disebut univariate, karena hanya satu variabel yang diteliti pada suatu waktu. Pada kenyataannya, kepribadian itu dipengaruhi oleh banyak variable. Ini membuat Cattell berpendapat bahwa hal ini hanya memiliki aspek terbatas pada kepribadian.

Pendekatan clinical, meliputi studi kasus, analisis mimpi, asosiasi bebas, dan teknik yang sama, sangat subjektif,oleh karena itu, tidak menghasilkan data diverifikasi dan terukur.

Pendekatan multivariate, Cattell memilih pendekatan ini karena menghasilkan data yang sangat  spesifik. Cattel membagi dua bentuk analisis faktor, yaitu: teknik R dan teknik P. Teknik R melibatkan pengumpulan sejumlah besar data dari kelompok yang diteliti. Trait ditentukan dari korelasi antar semua nilai. 

Jumat, 13 Juni 2014

PAUD



PAUD
 
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan 5 perkembangan, yaitu : perkembangan moral dan agama, perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan/kognitif (daya pikir, daya cipta), sosio emosional (sikap dan emosi) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan sesuai kelompok usia yang dilalui oleh anak usia dini seperti yang tercantum dalam Permendiknas no 58 tahun 2009.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah, sehingga dapat mengurangi usia putus sekolah dan mampu bersaing secara sehat di jenjang pendidikan berikutnya.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun (masa emas).
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

Pendidikan anak usia dini sangat baik dilakukan untuk anak-anak usia dini demi mengembangkan fungsi kognitif, motorik, dan psikososial mereka. Anak-anak usia dini sebaiknya mulai mengembangkan fungsi motorik, kognitif, serta psikososial mereka untuk persiapan pendidikan mereka di jenjang yang lebih tinggi.

Fungsi kognitif  ini berfungsi untuk membantu mereka berfikir kritis, membantu memecahkan masalah, dan membantu mereka dalam mengerjakan tugas di jenjang pendidikan lebih lanjut seperti pada masa sekolah, maupun di perguruan tinggi di masa depan nanti. Oleh karena itu, fungsi kognitif yang pertama kali harus mereka kembangkan adalah cara berhitung, membaca, menggambar, dan lain sebagainya. Namun sebaiknya proses pengembanga kognitif mereka disertakan dengan cara belajar sambil bermain. Karena anak usia dini masih belum terbiasa untuk menerima tekanan dalam proses belajar mereka, jadi proses belajar mereka akan berjalan tanpa merima tekanan karena mereka akan menikmati proses belajar jika sambil bermain.

Disamping itu, proses belajar sambil bermain akan membantu mereka mengembangkan fungsi psikososial mereka, karena mereka akan bermain bersama teman mereka dan belajar bersosialisasi untuk membantu mereka menjalin hubungan sosial mereka dengan orang lain dalam lingkungan sosial di masyarakat luasdi masa depan mereka nantinya. Fungsi motorik mereka jiga akan berkembang jika mereka belajar sambil bermain di taman kanak-kanak terutama motorik kasar mereka, seperti berlari, melompat, dan menari. Karena tak jarang pada taman kanak-kanak pada masa kini yang mengajari anak untuk menari terutama tarian daerah untuk mengenalkan mereka pada kebudayaan nusantara tetentu. Fungsi mprotik ini juga sebaiknya dilatih sejak dini agar anak dapat bergerak aktif demi menunjang mata pelajaran tertentu di masa pendidikan  mereka yang lebih tinggi.

Kamis, 12 Juni 2014

another experience

Pengalaman Berdasarkan Pedagogi

Seperti yang sudah saya jelaskan di post sebelumnya, pedagogi merupakan pendidikan yang berfokus pada guru atau teacher-centered, pedagogi juga merupakan pendidikan yang biasanya digunakan untuk anak-anak di sekolah dan peserta didiknya disebut “siswa”. Dalam proses pendidikannya, pedagogi menuntut agar guru lebih aktif untuk memberikan informasi kepada siswa seperti menciptakan ide-ide dan contoh dalam pembelajaran.

Jika dikaitkan dengan pengalaman pribadi dari diri saya sendiri, saya dapat mengemukakan bahwa pendidikan yang saya terima selama sembilan tahun di bangku sekolah dulu memang berfokus kepada guru sebagai tenaga pengajar yang memberikan informasi kepada siswa dan siswinya karena masih memiliki pengalaman dan informasi yang minim. Oleh karena itu, guru saya semasa sekolah dasar dulu selalu mengajari kami dengan proporsi kurang lebih 75% dan kami masih belajar secara pasif karena masih harus menerima ilmu dari guru. Pada saat itu kami masih belum belajar cara berdiskusi karena masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Guru saya termasuk guru yang tegas terhadap peraturan dan perencanaan tujuan belajar mengajar yang telah disusunnya tergolong efektif dan efisien, karena dalam waktu dua bulan saja kami semua sudah bisa membaca walaupun tidak semua menjalani pendidikan pra-sekolah.

Guru juga menjadi fokus utama pada saat itu, karena semua ilmu yang kami dapat adalah berdasarkan teori dari buku, serta gagasan dan ilmu pengetahuan guru kami yang telah dimilikinya. Hal ini membuktikan bahwa asumsi tentang peserta didik pedagogi masih belum berpengalaman dan masih minim ilmu, serta pendidikan masih berfokus pada toeri itu benar. Berbeda halnya dengan andragogi yang berfokus pada masalah-masalah yang ada. Namun pada saat duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) kami sudah diperkenalkan dengan cara belajar andragogi yang mengharuskan peserta didik untuk dapat belajar secara aktif. Walaupun demikian, pengajaran kami pada saat itu masih berfokus pada guru yang memberikan ilmu yang dimilikinya, guru masih sebagai tenaga pengajar yang aktif serta menyediakan ide-ide serta gagasan. Tujuan pembelajaran juga masih direncanakan oleh guru karena pembelajaran kami juga masih dependen, yaitu masih bergantung pada guru. Berbeda dengan pada saat memperoleh pengajaran di perguruan tinggi yang mengharuskan kami untuk aktif belajar dan harus membaca materi terlebih dahulu karena cara pembelajaran yang independen.

Perbedaan antara cara belajar dependen dan cara belajar independen ini memang benar-benar jelas terlihat. Pada saat di bangku sekolah, peserta didik diwajibkan mendengaarkan materi yang disampaikan seorang guru sebagai tenaga pengajar karena jika peserta didik tidak melihat, mendengarkan, serta menyimak penjelasan dari guru, maka peserta didik akan kesulitan dalam proses belajarnya. Hal ini dapat saya buktikan dengan pengalaman saya pada saat di bangku sekolah, karena cara pembelajaran yang pasif dan dependen, saya sering kebingungan pada saat belajar karena saya kurang mendengarkan dan menyimak guru di kelas. Serta guru akan menegur siswa yang tidak menyimak pelajaran, guru juga biasanya akan mengajari siswanya sampai mereka mengerti. Ini menunjukkan ketergantungan peserta didik terhadap tenaga pengajar dalam pendidikan pedagogi. Berbeda halnya dengan proses belajar independen, peserta didik bebas menentukan pilihan apakah ingin memperhatikan tenaga pengajar atau tidak. Karena peserta didik dapat memperoleh materi perkuliahan baik dari saat pertemuan maupun dari luar. Dan jika pada saat akhir pertemuan mahasiswa tidak bertanya, maka dapat diasumsikan mereka sudah mengerti.


Itulah pengalaman belajar saya yang telah saya kaitkan dengan pedagogi serta telah saya bandingkan dengan andragogi agar pembaca dapat memahami lebih jelas lagi mengenai perbedaan antara keduanya. Serta pengalaman saya dapat dijadikan suatu contoh nyata tentang dinamika pedagogi dan andragogi.